Penulis : Abdul Majid, Lc
Komponen pembentuk peradaban terdiri dari manusia, wilayah dan sistem sosial-ekonomi-budaya. Namun ketiganya tidak cukup bagi cikal-bakal lahirnya peradaban Islam. Butuh satu unsur lagi yang bersifat transeden: wahyu agama. Harus diakui, Islam merupakan pemantik denyut peradaban Islam yang dimulai di Arab kemudian menyebar ke seluruh wilayah yang dikuasai Islam. Selama lebih dari 1400 tahun, tidak ada tempat yang dijejaki Islam melainkan ditinggalkan pula jejak peradaban yang bermartabat.
Pengertian peradaban Islam tidak boleh dilepaskan dari dua aspek. Aspek pertama, peradaban Islam otentik, yakni peradaban-penciptaan dimana Islam menjadi satu-satunya sumber otoritatif. Hasil peradabannya murni baru dikenal dunia. Mulai dari ajaran keimanan, keberagamaan, laku peribadatan hingga segenap ilmu keukhrawian Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai soko guru kebenarannya. Aspek kedua, peradaban yang dibangun oleh orang Islam—dari zaman dahulu hingga sekarang—dalam ranah peningkatan kualitas hidup manusia, yang disebut dengan peradaban-kebangkitan. Membangun peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari dua aspek tadi.
Yusuf Qardlawi dalam buku Al-Islam: Hadlaratul Ghad (1995) merincikan dua aspek di atas. Tubuh peradaban Islam tersusun dari banyak penemuan bidang kemajuan penemuan dalam berbagai bidang ilmu keduniawian meliputi astronomi, arsitektur, kedokteran dll. Adapun ruh peradaban Islam dibentuk lewat ajaran akidah dan moral yang terlihat dari perilaku masyarakat, pandangan tentang agama dan hidup, manusia dan alam semesta serta dunia dan akhirat. Jiwanya disinari oleh cahaya Islam, raganya dibentuk oleh orang-orang yang menerima pancaran pencerahan cahaya Islam.
Selain mengakomodir dimensi duniawi (materi) dan ukhrawi (jiwa), peradaban Islam merupakan salah satu—kalau enggan mengakui satu-satunya—peradaban yang menghimpun berbagai bangsa dan latar budaya yang sudah berafiliasi ke Islam. Jika kita dengan mudah memisahkan Kristen dari peradaban Kristen, maka sulit bagi kita memberi jarak agama Islam dari peradaban Islam.
Abdul Aziz ibn Utsman dalam bukunya Khashaish Al-Hadlarah Al-Islamiyah menulis ada 5 karakter pokok yang dimiliki peradaban Islam. Pertama, peradaban teologis yang dibangun atas dasar akidah Islam: mengenalkan ketauhidan Allah. Kedua, peradaban pro kemanusiaan yang memandang manusia pada derajat yang sama: manusia adalah makhluk terbaik ciptaan Allah. Ketiga, peradaban inklusif kaya kontribusi, tidak segan menyerap dan mengembangkan hasil peradaban sebelumnya. Keempat, peradaban yang memenuhi kebutuhan jiwa dan materi secara adil. Dan kelima, peradaban yang terus hidup selama agama Islam masih tegak berdiri.
Anwar Al-Jundi dalam buku Atha’u Al-Islam Al-Hadlary (2005) menulis tantangan generasi Islam sekarang adalah ujian kekuatan mental dalam serangan pemikiran dan ideologi yang diekspor dari Barat. Hengkang perang fisik, datanglah perang ideologi. Barat menanamkan pandangan bahwa kemajuan tidak bisa dicapai tanpa mengikuti mereka. Barat memproduksi kemajuan, kita dipaksa jadi pemamah-biaknya. Barat menciptakan banyak ikon (idola) yang dipropagandakan ke generasi Islam agar mereka kehilangan keteladanan dari sejarah Islam dan berpindah kiblat ke ikon buatan mereka. Jika tidak dibentengi, lambat laun generasi Islam tumbuh dengan ketimpangan identitas. Di tambah lagi, sekarang marak pemahaman Islam yang serampangan, ekstrim dan kebablasan.
Dari sinilah, Pesantren Raudlatul Ulum menjadi salah satu lembaga yang berkontribusi dalam mempertahankan identitas keislaman dan menyelamatkan generasi Islam dari gedoran ideologi Barat dan ideologi radikal.
Pesantren Raudlatul Ulum sebagai Lokomotif dan Cagar Tradisi
Saya termasuk tidak sepakat apabila pendidikan agama didefinisikan sebagai sekedar mempelajari ilmu agama sebagai kebalikan dari pendidikan umum. Penerapan dikotomi tersebut hanya mencetak generasi yang mumpuni di salah satu bidang dan gagap di bidang yang lain. Pembagian tadi merupakan warisan politik Belanda yang hendak mengekalkan status sosial kaum ningrat (dengan pendidikan umum) dan memarjinalkan kaum pribumi (dengan pembatasan pendidikan agama).
Dalam Islam, semua ilmu pengetahuan bernilai sama. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin membagi ilmu ke dalam ilmu syar’i (tentang syariat Islam atau keukhrawian) yang hukumnya wajib secara fardlu ain dan ilmu ghairu syar’i (ilmu keduniawian) yang juga wajib secara fardlu kiyafah. Kewajiban tersebut dilandasi dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an, Allah mengangkat derajat orang beriman bersamaan dengan orang berilmu serta membedakan orang berilmu dengan orang tidak berilmu. Dalam Hadits, diumpamakan orang berilmu di antara orang beribadah bagaikan purnama di antara bintang-bintang. Pendidikan dalam Islam merupakan pendidikan komprehensif yang mewajibkan generasi Islam agar mempelajari ilmu keukhrawian dan ilmu keduniawian.
Pesantren Raudlatul Ulum mampu lepas dari jebakan dikotomi di atas dan menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi sejajar. Pengetahuan baik duniawi maupun ukhrawi sama-sama harus dipelajari dan digali. Memegang prinsip ini bukan perkara gampang di tengah sistem birokrasi yang kurang serius memperhatikan ilmu keagamaan, biaya pendidikan yang mahal, degradasi moral dan labilnya generasi Islam mencari identitas. Bila orang tua serius memikirkan anaknya agar bisa berbahasa Inggris supaya tidak ketinggalan zaman, mengapa mereka tidak bisa serius memikirkan anaknya agar juga bisa berbahasa Arab supaya dapat memahami kalam Tuhannya?
Spirit ini terbukti terus ditanamkan di pesantren Raudlatul Ulum. Sudah puluhan tahun, Madrasah Raudlatul Ulum tidak mendiskreditkan satu materi pelajaran dan mengunggulkan materi yang lain. Semua diberikan waktu dan kesempatan yang sama untuk dipelajari. Manfaatnya benar-benar dirasakan oleh setiap santri. Mereka punya banyak pilihan untuk meneruskan pendidikan setelah lulus. Di samping itu, sasaran utama pendidikan di Raudlatul Ulum adalah spirit khidmah dan pengabdian. Para santri pun digembleng sedemikian rupa agar siap terjun di tengah-tengah masyarakat.
Yang tidak kalah pentingnya adalah keteguhan Pesantren Raudlatul Ulum memegang tradisi dan kepekaannya pada semangat berkhidmah kepada masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan, tradisi kepesantrenan masih terlihat jelas dan kental di Raudlatul Ulum. Sosok kyai sebagai figur panutan, penanaman penghormatan kepada guru dan ilmu, mentradisikan gemar belajar, melegitimasi hafalan sebagai pondasi pengetahuan, mengkondisikan pembelajaran moral, kedisiplinan dan sadar aturan. Kesuksesan anak didik tidak hanya sekedar berpatok pada nilai setinggi langit, tapi juga kemampuan anak menghafal dan berhasilnya mereka berakhlak baik. Sebagai hasilnya, prestasi demi prestasi berhasil diraih para santri dalam berbagai bidang baik dalam tingkat provinsi maupun nasional.
Bahkan ketiganya masih belum cukup. Tidak ada kata selesai dalam upaya peningkatan kualitas mutu pendidikan. Peningkatan kecakapan masih terus digairahkan. Berbagai kegiatan dirumuskan sebagai nutrisi tambahan santri mulai dari menggelorakan tradisi penguasaan membaca Al-Qur’an, sorogan kitab kuning, bahasa Arab dan bahasa Inggris—terutama santri yang bermukim di pondok pesantren. Raudlatul Ulum juga tetap konsisten memakai kalender Hijriyah sebagai penanggalan bulanan sebagai peneguhan identitas dari lembaga pendidikan Islam. Bahkan kitab kuning yang diajarkan sudah komprehensif dan sesuai dengan manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Peradaban yang hidup adalah peradaban yang bisa terus memberikan sumbangsing peran. Tidak berhenti di bidang pendidikan, pengabdian diteruskan ke bidang pelayanan kesehatan. Pesantren Raudlatul Ulum telah resmi memiliki rumah sakit As-Suyuthiyah yang siap berkompetisi dengan lembaga kesehatan yang lain secara kualitas. Manfaat terdekatnya sudah dirasakan para santri yang lewat program subsidi dapat berobat kapanpun mereka sakit. Sama seperti lembaga pendidikan Raudlatul Ulum yang tidak mengumbar janji promosi tapi bukti dan kerja keras, lembaga kesehatan As-Suyuthiyah pastinya berjalan dengan spirit yang sama.
Pengabdian pendidikan dan kesehatan di atas diberikan dengan kepekaan atas keadaan ekonomi masyarakat yang beragam. Solusinya Raudlatul Ulum hadir dengan biaya yang murah tanpa menurunkan satu senti pun standar kualitasnya. Tidak sedikit para wali santri keheranan menyaksikan ada lembaga pendidikan besar di pelosok desa pesisir, bertahan dengan kualitas yang berani bersaing dan biaya pendidikan yang membumi. Lebih dari itu, Raudlatul Ulum juga sudah memulai tradisi baru bahwa pesantren harus berani menjadi “tangan di atas” dan bukan “tangan di bawah”. Prinsip pengabdian tanpa mengharap imbalan konsisten dibuktikan dengan tidak menerima (apalagi meminta) sumbangan materi dari para wali santri. Setelah kepercayaan masyarakat, Raudlatul Ulum hanya meminta untuk terus didoakan.
Kesemuanya ini terwujud karena Raudlatul Ulum memiliki visi dan misi yang jelas sebagai penerus peradaban Islam, figur pimpinan yang progresif, didukung sumber daya manusia terdidik yang mumpuni. Tidak mustahil, terobosan demi terobosan akan terus diciptakan di berbagai bidang kemanusiaan dengan slogan “selangkah lebih maju dalam ilmu amali dan amal ilmi”. Sebagai pembawa kebaruan dan cagar tradisi keislaman, Raudlatul Ulum sudah dan akan terus membuktikannya. Wallahu a’lam.